Sepertinya kamu mulai risih dengan kehadiranku.
Entah sejak kapan, aku sudah tak bisa lagi melihatmu lewat cerita-cerita kecil yang dulu selalu kamu bagi.
Story-mu tak lagi muncul. Bukan karena kamu tak mengunggahnya…
tapi karena aku tahu, aku bukan lagi orang yang kamu izinkan untuk melihat.
Dan itu sakit, dalam cara yang tak bisa dijelaskan.
Karena selama ini, saat aku rindu tapi tak berani bicara,
melihat story-mu adalah satu-satunya cara untuk merasa “masih dekat.” Meski hanya melihat pemandangan dari tempat yang kamu datangi, makanan yang kamu suka, atau potongan lagu yang kamu pilih, aku merasa... sedikit lebih tenang. Setidaknya, kamu masih ada di sana, dan aku masih bisa melihat jejakmu walau dari jauh.
Tapi sekarang, sunyi.
Tak ada lagi notifikasi yang membuatku buru-buru buka layar.
Tak ada lagi tebakan-tebakan tentang suasana hatimu dari potongan kalimat yang kamu bagikan.
Tak ada lagi kamu… setidaknya, bukan lagi di dunia kecil yang dulu kau biarkan aku intip.
Dan jujur, aku rindu itu.
Rindu rasanya jadi penonton setia kehidupanmu, walau dari balik layar.
Rindu ikut tertawa pada hal-hal yang kamu temukan lucu.
Rindu jadi bagian kecil dari dunia yang kini kamu tutup rapat dariku.
Mungkin kamu tak sadar, atau justru sangat sadar.
Bahwa sedikit hal sederhana seperti itu… berarti besar bagiku.
Tapi aku tak akan bertanya. Aku terlalu mengerti isyarat, dan terlalu tahu diri untuk memaksa kembali masuk ke ruang yang tak lagi ingin kau bagi.
Dan sekarang aku belajar, bahwa kehilangan seseorang tidak selalu karena perpisahan besar.
Kadang hanya karena satu klik kecil:
“sembunyikan story dari dia.”